Jumat, 06 Januari 2012

Makna Mantra Tri Sadhya Pada Upacara Persembahyangan Umat Hindu Bali: Sebuah Kajian Semiotik Riffaterre


HASIL PENELITIAN

MAKNA MANTRA TRI SANDHYA PADA UPACARA PERSEMBAHYANGAN UMAT HINDU BALI: KAJIAN SEMIOTIK RIFFATERRE

BAB I PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
Indonesia memiliki keanekaragaman budaya. Setiap kebudayaan di suatu daerah berbeda dengan daerah lainnya. Salah satu kekayaan budaya daerah adalah sastra lisan. Sastra lisan merupakan kekayaan dan warisan yang perlu diselamatkan. Sastra lisan penyebarannya sangat terbatas karena biasanya sastra lisan dituturkan dalam bahasa daerah tertentu dan oleh orang tertentu pula.  Sastra lisan dikenal sebagai salah satu warisan budaya daerah yang turun temurun berkembang dalam masyarakat pendukungnya secara lisan (Muthalib, 1994:1). Sastra lisan salah satunya adalah mantra memiliki keunikan tersendiri yaitu dituturkan dalam bahasa tertentu, oleh orang tertentu (dukun, pawang) yang maknanya hanya dipahami oleh penutur bahasa yang bersangkutan, dan mantra diyakini berisi hal-hal gaib atau memiliki kekuatan gaib.
Daerah Transmigrasi Batumarta VII terletak di perbatasan antara Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) dengan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (OKU Timur). Waktu tempuh desa Batumarta VII bisa ditempuh selama 3 jam dari Baturaja (OKU) dan 4 jam dari Martapura (OKU Timur). Desa Batumarta VII dihuni oleh para tansmigran asal provinsi Bali. Daerah Transmigrasi Batumarta VII biasa dikenal dengan sebutan Kampung Bali karena 100% warganya adalah suku Bali dan beragama Hindu. Secara tidak langsung penduduk kampung Bali membawa kebiasaan dan adat istiadat dari derah asal mereka salah satunya adalah mantra.
Mantra biasanya digunakan untuk berbagai tujuan, misalnya untuk mengobati berbagai penyakit, melindungi diri dari pengaruh jahat hantu, srta untuk menambah daya pikat seseorang (Esten, 1988:23).  Alisjahbana dalam Djamaris (1990:20) menggolongkan mantra ke dalam golongan bahasa berirama. Sedang bahasa berirama ini termasuk jenis puisi lama. Dalam bahasa berirama itu, irama bahasa sangat dipentingkan, terutama dalam mantra yang mementingkan irama yang kuat dan teraturuntuk membangkitkan tenaga gaib.selain itu mantra juga memiliki keistimewaan tertentu dibandingkan dengan sastra lisan lainnya. Mantra memiliki kalimat yang mengandung kekuatan gaib terkadang pula kata-kata mantra tidak diketahui artinya.
Mantra yang digunakan oleh penduduk desa Batumarta VII banyak digunakan untuk upacara adat seperti upacara kematian (ngaben), galungan, nyepi, penyambutan Saka, dan lain sebagainya. Mantra tersebut hanya boleh dituturkan oleh dukun dalam hal ini adalah ketua adat kampung Bali. Hal yang unik dalam tradisi warga kampung Bali adalah generasi penerus yang pantas menjadi ketua adat berikutnya adalah keturunan ketua adat itu sendiri dalam hal ini adalah anak laki-laki. Ketua adat kampung Bali adalah orang dengan kasta Brahmana, kasta tertinggi dalam masyarakat Hindu Bali. Kasta lainnya bisa menjadi seorang penutur mantra apabila ia telah disucikan.
Keunikan lain mantra yang digunakan warga kampung Bali adalah tidak tercampurnya tradisi agama lain dan bahasa masyarakat asli di dalamnya. Banyak mantra di nusantara yang sudah berbaur dengan tradisi/agama lain khususnya Islam. Mantra yang digunakan warga Bali di kampung Bali masih menggunakan bahasa Bali yang syarat dengan pujian bagi dewa. Masyarakat Bali di desa Batumarta VII ini merupakan penduduk pendatang yang bertransmigrasi dari pulau Bali. Walaupun demikian bahasa yang digunakan dalam mantra mereka tetap menggunakan bahasa Bali tanpa adanya percampuran bahasa penduduk asli.
Hal inilah yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian. Penelitian sebelumnya pernah diteliti oleh Rismawati dengan judul Analisis Struktur dan Isi Mantra di Kanagarian Manggopo. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rismawati teknik yang digunakan dalam mantra di Kanagarian Manggopo adalah teknik persuasi jenis perintah, identifikasi, sugesti, konformitas, proyeksi dan permintaan. Gaya bahasa yang paling banyak digunakan yaitu repetisi, sementara gaya bahasa yang paling sedikit digunakan adalah jenis gaya bahasa personifikasi.
Mengingat banyaknya jenis mantra yang digunakan warga kampung Bali, keterbatasan waktu dan biaya maka peneliti merasa perlu membatasi permasalahan penelitian. Penelitian ini menitikberatkan pada mantra sembahyang yaitu mantra merah dan mantra putih yang digunakan warga kampung Bali. Mantra sembayang ini selanjutnya dinamakan Tri Sandhya.

I.2  RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah makna mantra  Tri Sandhya pada upacara persembahyangan umat Hindu Bali di Kampung Bali Batumarta VII Kabupaten OKU Timur ?

1.3    TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan  dan mengungkapkan makna mantra  Tri Sandhya pada upacara persembayangan umat Hindu Bali di Kampung Bali Batumarta VII Kabupaten OKU Timur melalui pembacaan heuristik dan hermeneutik.

1.4    MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoretis dan secara praktis. Secara teoretis penelitian ini bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran dan pengetahuan mengenai mantra persembahyangan umat Hindu Bali.  Manfaat secara praktis dalam penelitian sebagai berikut.
1.    Bagi dunia pendidikan, penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan materi pembelajaran mengenai sastra daerah atau sastra klasik.
2.    Bagi pembaca peneltian ini bermanfaat untuk mengetahui bahwa sastra lisan adalah kekayaan yang tidak ternilai yang perlu dilestarikan dan bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari.
3.    Bagi peneliti lain penelitian ini bermanfaat memberikan informasi kepada peneliti lain yang berminat dan menggeluti sastra untuk meneliti lebih lanjut.

BAB II. KAJIAN PUSTAKA
2.1  Mantra Sembahyang Umat Hindu
Mantra memiliki unsur gaib atau magic. Menurut Koentjaraningrat (1981:77) mantra merupakan unsur penting di dalam ilmu gaib atau magic. Mantra berupa kata-kata dan suara-suara yang sering tidak ada berarti, tetapi dianggap berisi kesaktian atau kekuatan mengutuk. Umat Hindu umumnya menggunakan mantra untuk upacara sembahyang mereka di pura. Mantra-mantra yang digunakan dalam persembahyangan umat Hindu bervariasi dan berbeda-beda antar satu persembahyangan dengan persembahyangan lainnya. Mantra digunakan dalam persembahyangan berfungsi untuk :berkomunikasi” dengan Dewa, Dewi, Bethara, dan Bethari.
Mantra Tri Sandhya merupakan mantra yang diguakan oleh umat Hindu Bali dalam upacara sembahyang. Mantra ini diucapkan sebanyak tiga kali dalam sehari artinya umat Hindu Bali melakukan sembahyang sebanyak tiga kali sehari. Mantra ini juga disebut sebagai ibu dari segala mantra.  jika kita boleh menyejajar mantra Tri Sandhya ini sama dengan surat Al-Fatihah dalam agama Islam. Tri Sandhya ini diucapkan pada awal upacara sembahyang umat Hindu yang selalu diikuti oleh mantra Kramaning Sembah.

2.2  Struktur dan isi Mantra
Bentuk puisi yang paling tua adalah mantra. Mantra sendiri memiliki terminan hakikat sesungguhnya dari puisi yaitu pada pengkontrasian kekuatan bahasa itu dimaksudkan oleh penciptanya untuk menimbulkan daya magis atau kekuatan gaib (Waluyo, 1991:6).
 Mantra memiliki struktur dan isi seperti yang dimiliki oleh puisi. Menurut Soedjiono (dikutip oleh Rismawati, 1996:67) pengkajian terhadap sturktur dan isi mantra dapat dilihat dari aspek kebudayaan dan aspek kesusastraan. Aspek kebudayaan mnntra yang diungkapkan berkaitan dengan makna, kegunaan serta latar belakang filosofis, kepercayaan dan sistem religi yang mendasarinya. Aspek kesusastraan mantra yang dapat diungkapkan berupa ciri-ciri estetika mantra yang meliputi bentuk komposisi verbal, gaya bahasa, pilihan kata serta pemanfaatan bunyi bahasa untuk mencapai efek tertentu.
Soedjiono (dikutip oleh Zainona, 1991:16) menjelaskan lebih lanjut bahwa aspek kebudayaan  mantra berhubungan dengan isi mantra secara keseluruhan dan aspek kesusastraan mantra berhubungan dengan struktur mantra.
Secara garis besar struktur mantra  memiliki tiga unsur yaitu awal, tengah dan akhir. Struktur mantra sendiri biasanya terdiri dari beberapa komponen berikut (http://putisari.blog.com diakses 24 Oktober 2011).
a.    Komponen Salam Pembuka
b.    Komponen Niat
c.    Komponen Nama Mantra
d.   Komponen Sugesti
e.    Komponen Visualisasi dan Simbol           
f.     Komponen Nama Sasaran
g.    Komponen Tujuan
h.    Komponen Harapan
i.      Komponen Penutup
Penganalisisan mantra sembayang Tri Sandhya suku Bali di kampung Bali Batumarta VII merupakan analisis terhadap makna mantra Tri Samdhya.
2.3  Tata Cara Sembahyang dan Pembacaan Mantra Sembahyang Umat Hindu
Umat Hindu memiliki tata cara sebelum memulai sembayang. Tata cara yang mereka lakukan biasanya diawali dengan persiapan dan mantra sebagai doa pengantar sebelum memasuki inti upacara sembayang. Berikut ini persiapan yang dilakukan umat Hindu sebelum memulai sembanyang (Tata Cara Sembayang Sehari-Hari Umat Hindu Indonesia).
a.    Pakaian:
-       Mandi terlebih dahulu.
-       Selendang untuk diikatkan dipinggang, selendang dapat terbuat dari apa saja, tetapi penggunannya dikhususkan untuk sembahyang saja.
-       Pakaian bebas, rapi dan bersih.
-       Sebenarnya menggunakan pakaian sembahyang bisa, tapi tidak diharuskan.
b.    Jika Anda tidak punya sanggah di rumah, Anda dapat memasang pelangkiran di rumah, baik di kamar, atau di ruang tamu, di dapur atau di ruang khusus yang biasa disebut sebagai kamar suci.
c.    Jika pelangkiran sulit dicari, Anda dapat membuat altar kecil-kecilan dengan meja khusus. Hal ini biasanya sering dilihat pada film-film India.
             contoh altar kecil-kecilan.                contoh pelangkiran.

d.   Anda bisa meletakkan arca dewa-dewi atau arca penjelmaan Tuhan, fotonya juga bisa. Tapi tidak mesti. Anda dapat menggunakan gambar Visnu, karena pada umumnya di setiap Pura di Indonesia ada Padmasana yang merupakan tempat berstana Narayana atau Visnu.

Di atas adalah gambar Padmasana, kitab-kitab suci Hindu menyebutkan itu adalah tempat berstana Visnu/Narayana ketika pengocokan lautan untuk mendapatkan Amertha.


Di atas adalah gambar Sri Visnu, Tuhan Yang Maha Esa, sumber segala sumber, sebab segala sebab.

e.    Sarana:
-       Bunga, dupa dan air. Ada pula canang, canang adalah rangkaian bunga-bungaan yang ada di atas wadah yang terbuat dari janur.

-       Buah-buahan atau makanan juga bisa dipersiapkan untuk dipersembahkan.
f.     Prasarana:
-       Ketulusan dengan disertai cinta bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Berikut langkah-langkah atau cara sembahyang umat Hindu.
a.    Bakar beberapa dupa, paling tidak 3 batang.
b.    Pegang dupa dan arahkan pada pelangkiran atau altar, dan ucapkan mantra “OM ANG DUPA DIPASTRA YA NAMAH SWAHA”.
c.    Sediakan segelas air dengan wadah khusus, hanya untuk sembahyang, bisa juga menggunakan air mineral seperti Aqua gelas.
d.   Taruhlah air, dan bunga, serta buah-buahan atau makanan jika ada, di pelangkiran atau di altar. Seraya mengucapkan dalam hati, o Tuhan terimalah persembahan yang sederhana ini. Air tadi disebut denga Amertha.
e.    Sisakan 3 biji canang dan sebatang dupa.
f.     Setelah menaruh persembahan, saatnya mebhakti atau melakukan Tri Sandhya dan Panca Sembah.
g.    Anda bisa duduk maupun berdiri di depan altar atau pelangkiran.
h.    Letakkan dupa di depan Anda, usahakan dupa jangan di taruh di sela kaki, sediakan tempat untuk menaruh atau menancapkan dupa.
i.      3 biji bunga tadi dapat Anda letakkan di pangkuan jika sedang duduk, atau di kantung baju jika berdiri, bisa juga di taruh dalam wadah khusus, nare kecil atau bokor dalam bahasa Bali, mirip seperti piring, tapi bukan.
j.      Asapi tangan lalu raup wajah tiga kali.
k.    Ambil sikap tangan Asana, ibu jari disatukan dengan jari telunjuk, seperti gambar berikut:

Ucapkan mantram Asana: “OM PRASADA STITI SARIRA SIWA SUCI NIRMALA YA NAMA SWAHA”
l.      Kemudian melakukan Pranayama, dengan sikap tangan yang sama, lakukan langkah berikut:
1)   Tarik nafas sambil mengucapkan mantra “OM ANG NAMAH”.
2)   Tahan nafas sambil mengucapkan manra “OM UNG NAMAH”.
3)   Hembuskan nafas sambil mengucapkan mantra “OM MANG NAMAH”.
Yang pasti, khusus pengucapan mantra Pranayama di lakukan dalam hati, karena tidak mungkin mengeluarkan suara dengan keadaan nafas yang diatur seperti demikian.

m.  Kemudian melakukan Karasudhana, dengan sikap tangan seperti berikut:

Kedua ibu jari disatukan, tangan kanan di atas tangan kiri dengan mengucapkan mantra “OM SUDHA MAM SWAHA”. Lalu pindahkan tangan kanan ke bawah tangan kiri dengan mengucapkan mantra “OM ATI SUDHA MAM SWAHA”.
n.    Kemudian pindahkan kembali tangan kanan ke atas dalam keadaan kedua ibu jari tetap menyatu. Pada saat inilah mantram Tri Sandhya diucapkan:
1)   Om bhur bhuvah svah tat savitur varenyambhargo devasya dhimahidhiyo yo nah pracodayat.
2)   Om Narayana evedwam sarvamyad bhutam yac ca bhavyamniskalanko niranjanonirvikalpo nirakhyatahsuddho deva ekonarayana na dvitiyoasti kascit.
3)   Om tvam siwah tvam mahadevahIswarah paramesvarahbrahma visnusca rudrascapurusah parikirtitah.
4)   Om papo’ham papakarmaham papatma papasambhavahtrahi mam pundari kaksa sabahya bhyantarah sucih.
5)   Om ksamasva mam mahadeva sarvaprani hitankaramam moca sarva papebhyahpalayasva sada siva.
6)   Om ksantavyah kayiko dosahksantavyo. vaciko mamaksantavyo manaso dosahtat pramadat ksamasva mam.
7)   Om Santih, Santih, Santih Om.

o.    Setelah itu melakukan Panca Sembah:
Posisi tangan:
Khusus untuk urutan pertama dan ke-5, tidak menggunakan bunga. Disebut dengan muyung atau puyung.


Gambar di kiri adalah benar, di kana salah. Jadi, tangan harus rapat tanpa ada yang merenggang antar jari maupun antar telapak tangan.

1)   Mantra pertama, dengan mengasapi tangan, lalu satukan telapak tangan di atas dahi, dengan mantra:
OM ATMA TATWATMA SUDHA MAM SWAHA.

2)   Ambil bunga putih, asapi dan lakukan seperti sikap pada gambar, dengan mantra:
OM ADITYASYA PARAM JYOTI
RAKTE TEJO NAMO' STUTE
SWETA PANKAJA MANDYASTHA
BHASKARAYA NAMO'STUTE”.
Letakkan bunga tadi di bawah saja.

3)   Pakai bunga merah, mantramnya:
OM NAMA DEWA ADISTHANAYA
SARWA WYAPI WAI SIWAYA
PADMASANA EKA PRATISTHAYA
ARDHANARESWARYAI NAMO NAMAH

4)   Pakai bunga putih lagi, mantramnya:
OM ANUGRAHA MANOHARAM
DEWA DATTA NUGRAHAKA
ARCANAM SARWA PUJANAM
NAMAH SARWA NUGRAHAKA
DEWA-DEWI MAHASIDDHI
YADNYANCA NIRMALATMAKA
LAKSMI SIDDHISCA DIRGHAYUH
NIRWIGHNA SUKHA WRDDISCA

5)   Tanpa bunga
 OM DEWA SUKSMA PARAMA CINTYAYA NAMA SWAHA
 OM SANTIH SANTIH SANTIH OM

p.    Rangkaian persembahyangan sudah hampir selesai, jika ingin berdoa kepada Tuhan, baik bersyukur atau memohon sesuatu, bisa dilakukan setelah Panca Sembah ini.
q.    Setelah itu, lungsur atau memohonlah kembali atas apa yang telah dipersembahkan tadi. Lungsurlah Amertha percikkan tiga kali ke arah altar atau pelangkiran, kemudian percikkan ke kepala sendiri sebanyak tiga kali, dan minum sebanyak tiga kali, cara meminumnya adalah tuangkan sedikit Amertha ke telapak tangan, baru diminum, tidak boleh diminum langsung dari gelas. Setelah itu raup wajah sebanyak tiga kali. Jangan lupa, saat meminum Amertha mohonlah kepada Tuhan hal-hal yang positif. Niscaya akan terkabulkan.

2.4  Sarana yang Digunakan Dalam Pembacaan Mantra Sembahyang
Sarana sembayang yang digunakan oleh umat Hindu antara lain air, bunga, dan dupa. Ada juga yang disebut dengan canang yaitu rangkaian bunga dari janur. Berikut penjelasan sarana sembayang dan fungsinya.

a.    Bunga
Ketika sembah dihaturkan di sebuah persembahyangan, diiringi oleh asap dupa dan puja mantra suci, orang Hindu Bali dengan kepala tertunduk mengkusyukkan dirinya kepada Tuhan dengan caranya yang sangat khas. Kedua telapak tangan mereka saling menempel dengan jari-jemari mengarah ke atas kemudian menyejajarkannya di depan kening mereka sambil menjepitkan bunga. Jiwa Sejati yang disebut Sang Atman yang menjadi sumber hidup dalam berbagai upacara Agama dilukiskan dengan bunga.
Ungkapan-ungkapan perasaaan dan pikiran yang mengadung makna keindahan dan ketulusan dilambangkan dengan bunga. Bunga adalah lambang jiwa dan pikiran yang murni dan simbul dari sebuah restu Hyang Widhi. Bunga dipilih sebagai sarana utama didalam persembahyangan umat Hindu Bali karena kecantikannya, keharumannya, dan kesuciannya yang mampu melambangkan kemurnian hati dan Jiwa.
Para umat menyiapkan diri mereka dengan sesajen, kewangen dan bunga untuk bersembahyangan. Walaupun banyak lontar-lontar yang menuliskan jenis-jenis bunga yang bagus untuk dipakai namun sebenarnya tidak ada penentuan pasti yang mengatur tentang jenis bunga yang boleh dan tidak boleh dipakai bersembahyang. Berbeda dengan manusia, bunga adalah ciptaan Tuhan yang hanya memiliki Roh kesucian tanpa memiliki kesadaran pikir untuk mengolah perbuatan. Bunga hanya mampu malaksanakan korban suci kepada dirinya sendiri.  Tidak ada  bunga yang jelek karena bunga tidak pernah menyakiti mahluk lainnya. Bunga adalah suci adanya, semua jenisnya indah, cantik dan murni.
Bunga yang dipergunakan untuk persembayangan adalah bunga yang segar dan harum. Menurut lontar Dasanama bunga yang terbaik adalah bunga teratai atau padma. Bunga Padma disebutkan sebagai Raja Kusuma, rajanya bunga dari segala bunga. Namun demikian kalau bunga ini tidak ada bukan berarti sebuah persembayangan itu tidak suci atau tidak berlaku dimata Tuhan, bunga ini dapat digantikan dengan bunga-bunga lainnya sepanjang bunga ini memiliki warna yang sesuai, segar, mekar dan bersih serta tidak layu atau kering sehingga mampu menarik daya pesona kekuatan Semesta.

b.   Air
Air adalah elemen pembersihan diri bagi umat Hindu Bali. Air digunakan untuk mennyucikan diri setelah sembahyang dilakukan. Air sembahyang dapat diminum setelah sembahyang.

c.    Dupa/Asap
Asap mengepul dari api dupa, wujudnya tampak berarak di udara, bergerak ke atas perlahan-lahan lalu luluh lenyap menyatu dengan udara, seperti Sang Jiwatman yang meninggalkan tubuh-Nya yang mati perlahan-lahan, Ia pergi hendak menuju Sang Paramatman, menghilang dari pandangan indrawi namun meninggalkan keharuman. Sebuah keharuman Jiwa nan suci (Weda).
Api adalah sarana yang tidak bisa ditinggalkan dalam ritual persembahyangan Hindu Bali. Dalam persembahyangan, api diwujudkan dengan dupa dan dipa. Dupa berbentuk batang kayu tipis yang dibungkus dengan serbuk harum-haruman yang berasal dari bunga-bunga dan  akar wangi yang kalau dibakar akan berasap dan berbau harum.
Apinya dupa adalah perwujudan Hyang Agni – Tuhan dalam manifestasiNya sebagai api. Api dengan sinarnya adalah penerangan di dalam alam ini. Api dengan panasnya adalah energi bagi kehidupan ini. Api dengan kekuatannya adalah penolak bala bagi segala mahluk. Tuhan telah menciptakan Matahari sebagai sumber api yang bisa memberikan kehidupan. Ia adalah pengatur waktu, pembentuk terang dan gelap, siang dan malam. Maka dari itu api adalah faktor penting bagi umat Hindu Bali didalam melaksanakan ritual-ritual persembayangannya.
Dupa dengan nyala apinya adalah simbul penyaksi ketulusan Jiwa yang sedang bersembahyang.  Selain itu juga ia dilambangkan sebagai perantara yang menghubungkan antara pemuja dan yang dipuja. Api dupa juga berfungsi untuk mengalirkan kekuatan-kekuatan negatif yang terhambat di udara untuk mengharmonisasikannya menjadi kekuatan yang positif sehingga udara menjadi bersih dan astral.

d.   Canang
Canang adalah sebuah hasil karya budaya dalam keagaaman sebagai suatu sarana persembahyangan yang harus ada dalam kegiatan keagamaan di Bali. Kata “Canang” berasal dari bahasa Jawa Kuno atau bahasa Kawi yang berarti sirih, yang disuguhkan pada tamu yang di hormati. Jadi, oleh karena itu canang di jadikan suatu sarana yang harus ada karena di persembahkan kepada Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi dalam ajaran agama Hindu di Bali .
Dalam ajaran agama Hindu di Bali canang menagndung beberapa makna, yaitu :
1)   Sebagai lambang perjuangan hidup manusia dengan selalu memohon perlindungannya untuk dapat menciptakan, memelihara dan meniadakan yang berhubungan dengan hidup manusia.
2)   Sebagai lambang menumbuhkan keteguhan, kelanggengan dan kesucian pikiran
3)   Sebagai lambang suatu usaha uamat manusia untuk menerapakan ajaran agama Hindu dalam bentuk banten yang memberikan keterangan tentang arti dan makna hidup.
Canang pada umumnya berbentuk persegi, namun di setiap daerah di Bali memiliki bentuk canang yang bebeda, ada yang bulat ada yang berbentuk segitiga, namun perbedaan bentuk tersebut tidak menghilangkan makna dari canang tersebut.  Canang terbuat dari janur (daun kelapa yang masih muda) dan daun pohon jaka sebagai alasnya, kemudian dibentuk sedemikian rupa dan dijarit dengan menggunkan batang bambu yang telah dipotong  dan kemudian dihiasi dengan bunga-bungaan yang berwarna-warni . Dalam pembentukannya harus memperhatikan arah-arah yang dianggap baik atau suci oleh umat Hindu.
Canang terdiri dari beberapa unsur pembentukannya yaitu:
1)   Porosan, Porosan melambangkan Tuhan/ Ida Sang Hyang Widhi dalam manifetasinya sebagai Tri Murti
2)   Plawa/ daun-daunan,  Melambangkan tumbuhnya pikiran suci dan hening
3)   Tetuesan / Jejaitan, Lambang keteguhan atau kelanggengan umat manusia
4)   Bunga,  Melambangkan keikhlasan
5)   Uras Sari,   Dibuat dari garis silang yang menyerupai tanda tambah yang merupakan bentuk sederhana dari Swastika
Fungsi utama canang adalah :
1)   sebagai sarana persembahyangan di Bali
2)   sebagai  alat konsentrasi dalam melaksanakan persembahyangan
Selain fungsi tadi, canang juga dapat menciptakan suatu keindahan karena wujudnya yang indah yang dihiasi  bunga yang berwarna-warni dan  canang juga menjadi sebuah mata pencaharian masyarakat di Bali. Contoh beberapa bentuk canang yang ada di bali (http://paket2wisata.wordpress.com/category/balinese-culture/canang/ diakses tanggal 15 Nevermber 2011).

2.5  Teori dan Metode Semiotik Michael Riffaterre
Dalam Semiotics of Poetry (1978), Michael Riffaterre mengemukakan empat prinsip dasar dalam pemaknaan puisi secara semiotik. Keempat prinsip dasar itu adalah sebagai berikut.
a.  Ketidaklangsungan Ekspresi
Dikemukakan oleh Riffaterre (1978: 1) bahwa puisi itu dari dahulu hingga sekarang selalu berubah karena evolusi selera dan konsep setetik yang selalu berubah dari periode ke periode. Ia menganggap bahwa puisi adalah sebagai salah satu wujud aktivitas bahasa. Puisi berbicara mengenai sesuatu hal dengan maksud yang lain. Artinya, puisi berbicara secara tidak langsung sehingga bahasa yang digunakan pun berbeda dari bahasa sehari-hari. Jadi, ketidaklangsungan ekspresi itu merupakan konvensi sastra pada umumnya. Karya sastra itu merupakan ekspresi yang tidak langsung, yaitu menyatakan pikiran atau gagasan secara tidak langsung, tetapi dengan cara lain (Pradopo, 2005:124).
 Ketidaklangsungan ekspresi itu menurut Riffaterre (1978:2) disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Ketiga jenis kejelas-jelas akan mengancam representasi kenyataan atau apa yang disebut dengan mimesis. Landasan mimesis adalah hubungan langsung antara kata dengan objek. Pada tataran ini, masih terdapat kekosongan makna tanda yang perlu diisi dengan melihat bentuk ketidaklangsungan ekspresi untuk menghasilkan sebuah pemaknaan baru (significance).

1)   Penggantian arti (displacing of meaning)
Penggantian arti ini menurut Riffaterre disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi dalam karya sastra. Metafora dan metonimi ini dalam arti luasnya untuk menyebut bahasa kiasan pada umumnya. Jadi, tidak terbatas pada bahasa kiasan metafora dan metonimi saja. Hal ini disebabkan oleh metafora dan metonimi itu merupakan bahasa kiasan yang sangat penting hingga dapat mengganti bahasa kiasan lainnya. Di samping itu, ada jenis bahasa kiasan yang lain, yaitu simile (perbandingan), personifikasi, sinekdoke, epos, dan alegori. Metafora itu bahasa kiasan yang mengumpamakan atau mengganti sesuatu hal dengan tidak mempergunakan kata pembanding bagai, seperti, bak, dan sebagainya. Metonimi merupakan bahasa kiasan yang digunakan dengan memakai nama atau ciri orang atau sesuatu barang untuk menyebutkan hal yang bertautan dengannya.

2)   Penyimpangan arti (distorting of meaning)
Penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif dari bahasa biasa ditujukanuntuk membentuk kejelasan, penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek yang lain. Riffaterre (1978:2) mengemukakan bahwa penyimpangan arti disebabkan oleh tiga hal, yaitu pertama oleh ambiguitas, kedua oleh kontradiksi, dan ketiga oleh nonsense.
Pertama, ambiguitas disebabkan oleh bahasa sastra itu berarti ganda (polyinterpretable), lebih-lebih bahasa puisi. Kegandaan arti itu dapat berupa kegandaan arti sebuah kata, frase ataupun kalimat.
Kedua, kontradiksi berarti mengandung pertentangan disebabkan oleh paradoks dan atau ironi. Paradoks merupakan suatu pernyataan yang berlawanan dengan dirinya sendiri, atau bertentangan dengan pendapat umum, tetapi kalau diperhatikan lebih dalam sesungguhnya mengandung suatu kebenaran, sedangkan ironi menyatakan sesuatu secara berkebalikan, biasanya untuk mengejek atau menyindir suatu keadaan.
 Ketiga, nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab hanya berupa rangkaian bunyi, tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi, puisi nonsense itu memiliki makna. Makna itu timbul karena adanya konvensi sastra, misalnya konvensi mantra. Nonsense berfungsi untuk menimbulkan kekuatan gaib atau magis, untuk mempengaruhi dunia gaib.

3)   Penciptaan arti (creating of meaning)
Penciptaan arti ditimbulkan melalui enjambement, homologue, dan tipografi (Riffaterre, 1978: 2). Penciptaan arti ini merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna di dalam puisi. Jadi, penciptaan arti ini merupakan organisasi teks di luar linguistik.

b.   Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
Untuk dapat memberi makna secara semiotik, pertama kali dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif (Riffaterre, 1978:5–6). Konsep ini akan diterapkan sebagai langkah awal dalam usaha untuk mengungkap makna yang terkandung dalam mantra melaut suku Bajo.
Pembacaan heuristik menurut Riffaterre (1978:5) merupakan pembacaan tingkat pertama untuk memahami makna secara linguistik, sedangkan pembacaan hermeneutic merupakan pembacaan tingkat kedua untuk menginterpretasi makna secara utuh. Dalam pembacaan ini, pembaca lebih memahami apa yang sudah dia baca untuk kemudian memodifikasi pemahamannya tentang hal itu.
Menurut Santosa (2004:231) bahwa pembacaan heuristik adalah pembacaan yang didasarkan pada konvensi bahasa yang bersifat mimetik (tiruan alam) dan membangun serangkaian arti yang heterogen, berserak-serakan atau tak gramatikal. Hal ini dapat terjadi karena kajian didasarkan pada pemahaman arti kebahasaan yang bersifat lugas atau berdasarkan arti denotatif dari suatu bahasa. Sedangkan Pradopo (2005:135) member definisi pambacaan heuristik yaitu pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama.
Pembacaan hermeneutik menurut Santosa (2004:234) adalah pembacaan yang bermuara pada ditemukannya satuan makna puisi secara utuh dan terpadu. Sementara itu, Pradopo (2005:137) mengartikan pembacaan hermeneutik sebagai pembacaan berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat kedua (makna konotasi). Pada tahap ini, pembaca harus meninjau kembali dan membandingkan hal-hal yang telah dibacanya pada tahap pembacaan heuristik. Dengan cara demikian, pembaca dapat memodifikasi pemahamannya dengan pemahaman yang terjadi dalam pembacaan hermeneutik.
Puisi harus dipahami sebagai sebuah satuan yang bersifat struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Oleh karena itu, pembacaan hermeneutik pun dilakukan secara struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Artinya, pembacaan itu bergerak secara bolak-balik dari suatu bagian ke keseluruhan dan kembali ke bagian yang lain dan seterusnya. Pembacaan ini dilakukan pada interpretasi hipogram potensial, hipogram aktual, model, dan matriks (Lihat Riffaterre, 1978:5). Proses pembacaan yang dimaksudkan oleh Riffaterre (dalam Selden, 1993:126) dapat diringkas sebagai berikut.
a.    Membaca untuk arti biasa.
b.    Menyoroti unsur-unsur yang tampak tidak gramatikal dan yang merintangi penafsiran mimetik yang biasa.
c.    Menemukan hipogram, yaitu mendapat ekspresi yang tidak biasa dalam teks.
d.   Menurunkan matriks dari hipogram, yaitu menemukan sebuah pernyataan tunggal atau sebuah kata yang dapat menghasilkan hipogram dalam teks.

c.    Matriks dan Model
Riffaterre menjelaskan bahwa memahami sebuah puisi sama dengan melihat sebuah donat. Terdapat ruang kosong di tengah-tengah yang berfungsi untuk menunjang dan menopang terciptanya daging donat di sekeliling ruang kosong itu. Dalam puisi, ruang kosong ini merupakan pusat pemaknaan yang disebut dengan matriks (1978:13). Matriks tidak hadir dalam sebuah teks, namun aktualisasi dari matriks itu dapat hadir dalam sebuah teks yang disebut model. Matriks itulah yang akhirnya memberikan kesatuan sebuah sajak (Selden, 1993:126).
Hal ini senada dengan konsep yang dikemukakan oleh Indrastuti (2007:4) bahwa matriks merupakan konsep abstrak yang tidak pernah teraktualisasi. Konsep ini dapat dirangkum dalam satu kata atau frase. Aktualisasi pertama dari matriks adalah model. Aktualisasi pertama itu berupa kata atau kalimat tertentu yang khas dan puitis. Kekhasan dan kepuitisan model itu mampu membedakan kata atau kalimat-kalimat lain dalam puisi. Eksistensi kata itu dikatakan bila tanda bersifat hipogramatik dan karenanya monumental.

d.   Hubungan Intertekstual
Karya sastra tidak lahir dalam situasi kosong dan tidak lepas dari sejarah sastra. Artinya, sebelum karya sastra dicipta, sudah ada karya sastra yang mendahuluinya. Pengarang tidak begitu saja mencipta, melainkan ia menerapkan konvensi-konvensi yang sudah ada. Di samping itu, ia juga berusaha menentang atau menyimpangi konvensi yang sudah ada. Karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan revolusi, antara yang lama dengan yang baru (Teeuw, 1980: 12). Oleh karena itu, untuk memberi makna karya sastra, maka prinsif kesejarahan itu harus diperhatikan. Mantra melaut suku Bajo misalnya, mantra ini tidak terlepas dari hubungan kesejarahannya dengan teks lain yang turut menunjang keberadaannya.
Riffaterre (1978: 11) mengemukakan bahwa sebuah karya sastra baru mempunyai makna penuh dalam hubungannya atau pertentangannya dengan karya sastra lain. Ini merupakan prinsip intertukstualitas yang ditekankan oleh Riffaterre. Prinsip intertekstual adalah prinsip hubungan antarteks. Sebuah teks tidak dapat dilepaskan sama sekali dari teks yang lain. Teks dalam pengertian umum adalah dunia semesta ini, bukan hanya teks tertulis atau teks lisan. Adat-istiadat, kebudayaan, film, drama, dan lain sebagainya secara pengertian umum adalah teks. Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat lepas dari hal-hal yang menjadi latar penciptannya, baik secara umum maupun khusus.
Sebuah karya sastra seringkali berdasar atau berlatar pada karya sastra yang lain, baik karena menentang atau meneruskan karya sastra yang menjadi latar itu. Karya sastra yang menjadi dasar atau latar penciptaan karya sastra yang kemudian oleh Riffaterre (1978:11) disebut dengan hipogram. Sebuah karya sastra akan dapat diberi makna secara hakiki dalam kontrasnya dengan hipogramnya (Teeuw, 1983: 65).
Julia Kristeva dalam Pradopo (2005: 132) mengemukakan bahwa tiap teks itu, termasuk teks sastra, merupakan mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan serta transformasi teks-teks lain. Secara khusus, teks yang menyerap dan mentransformasikan hipogram dapat disebut sebagai teks transformasi. Untuk mendapatkan makna hakiki dari sebuah karya sastra digunakan metode intertekstual, yaitu membandingkan, menjajarkan, dan mengkontraskan sebuah teks transformasi dengan hipogramnya. Dengan demikian, sebuah karya sastra hanya dapat dibaca dalam kaitannya dengan teks lain.
Berdasarkan keempat prinsip dasar pemaknaan puisi menurut Riffatere seperti yang diuraikan di atas, penulis hanya menggunakan satu prinsip yaitu pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik.

BAB III METODE PENELITIAN
3.1    Metode
Metode yang digunakan dalam menganalisis adalah metode semiotik dengan memanfaatkan teori semiotik Riffatere.  Hal itu dilakukan mengingat bahwa semiotik merupakan suatu pendekatan yang menekankan pada aspek penggalian makna terhadap tanda dalam suatu karya sastra. Endraswara menyebutkan bahwa tanda sekecil apa pun dalam pandangan semiotik tetap diperhatikan (2003: 64). Pendekatan semiotik model Riffaterre dipakai berdasarkan pertimbangan bahwa semiotic Riffaterre lebih mengkhususkan pada analisis puisi. Mantra adalah salah satu jenis puisi lama, oleh karena itu pendekatan semiotik yang lebih tepat digunakan adalah pendekatan semiotik Riffaterre.

3.2    Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer bersumber dari penutur mantra di kampung Bali desa Batumarta VII berupa mantra Tri Sandhya, dalam hal ini penutur mantra adalah seorang pemuka agama Bali (Pedande) dari kasta Sudra.

3.3    Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut.
a.    Observasi
Observasi dilakukan dengan cara mengamati langsung kampung Bali desa Batumarta VII dan menemui ketua adat (pedande) setempat. Observasi dilakukan untuk memperoleh keterangan mengani informan, situasi sosial budaya masyarakat setempat
b.    Wawancara
Peneliti melakukan wawancara untuk memperoleh data yang lengkap tentang struktur dan isi mantra sesuai dengan tujuan penelitian. Arikunto (1989:126) mengatakan bahwa wawancara adalah sebuah dialog yang dilakukan pewawancara untuk meperoleh informasi dari nara sumber.wawancara dilakukan dengan mengajukan sejumlah pertanyaan kepada Pedande desa Batumarta VII.
c.    Perekaman
Teknik perekaman peneliti gunakan untuk merekam mantra pengobatan yang diucapkan atau yang dilafalkan oleh pedande.

3.4    Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan beberapa teknik yaitu teknik transliterasi (penerjemahan bahasa mantra ke bahasa Indonesia), teknik analisis data dan kesimpulan.
Tahap-tahap dalam menganalisis data akan diuraikan berikut ini.
a.    Menuliskan kembali mantra yang telah direkam sebelumnya.
b.    Menerjemahkan bahasa mantra Hindu Bali yaitu bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Indonesia.
c.    Membaca kembali mantra yang telah dituliskan.
d.   Menguraikan satu per satu kata pada mantra.
e.    Membuat kesimpulan.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAAN
4.1 HASIL PENELITIAN
Mengkaji mantra merupakan usaha untuk menangkap makna dan memberi makna kepada isimantra itu. Kajian semiotik yang dilakukan terhadap mantra sembahyang umat Hindu merupakan salah satu bentuk usaha demikian. Dalam hal ini, mantra sembahyang umat Hindu dikaji dengan menggunakan metode semiotik Riffaterre. Bertolak pada metode semiotik Riffaterre inilah, maka penulis hanya melakukan satu langkah untuk menangkap dan memberi makna terhadap mantra Tri Sandhya yaitu melakukan pembacaan heuristik dan hermeneutic terhadap mantra Tri Sandhya yang merupakan mantra sembahyang umat Hindu Bali.
Langkah tersebut di atas akan diterapkan dalam rangka mengungkap dan mendeskripsikan makna mantra Tri Sandhya secara tuntas sehingga menghasilkan kesatuan makna yang utuh. Analisis akan dilakukan terhadap mantra sembahyang umat Hindu yakni Tri Sandhya yang menjadi data dalam penelitian ini. Berikut adalah kajian terhadap mantra Tri Sandhya dengan menggunakan metode semiotika yang dikembangkan oleh Riffaterre.

a.    Mantra Tri Sandhya
Ø Om bhur bhuvah svah
tat savitur varenyam
bhargo devasya dhimahi
dhiyo yo nah pracodayat

Ø Om Narayana evedwam sarvam
yad bhutam yac ca bhavyam
niskalanko niranjano
nirvikalpo nirakhyatah
suddho deva eko
narayana na dvitiyo asti kascit.

Ø Om tvam siwah tvam mahadevah
Iswarah paramesvarah
brahma visnusca rudrasca
purusah parikirtitah

Ø Om papo'ham papakarmaham
papatma papasambhavah
trahi mam pundarikaksa
sabahyabhyantarah sucih

Ø Om ksamasva mam mahadeva
sarvaprani hitankara
mam moca sarva papebhyah
palayasva sada siva

Ø Om ksantavyah kayiko dosah
ksantavyo. vaciko mama
ksantavyo manaso dosah
tat pramadat ksamasva mam
Om Santih, Santih, Santih Om.

b.   Pembacaan Heuristik dan Hermenuetik
1)   Pembacaan Heuristik
Mantra Tri Sandhya merupakan mantra dari segala mantra sembahyang umat Hindu. Mantra ini biasa disebut sebagai ibu dari semua mantra. umat Hindu Bali biasa mengenal mantra ini dengan sebutan Puja Tri Sandhya (http://ghantasari.com/kupasan-mantra-mantra-tri-sandya/. Diakses tanggal 16 November 2011). Mantra Tri Sandhya ini terdiri dari 6 mantram. Mantram pertama, disebut dengan Gayatri Mantram yang bisa dikenali dari tiap irama-iramanya yaitu anustup, tristup, canustup, pragathah, jagati, dan sebagainya. Berikut ini larik pertama mantra Tri Sandhya.
Ø 1. Om bhur bhuvah svah
    tat savitur varenyam
    bhargo devasya dhimahi
    dhiyo yo nah pracodayat

Larik pertama mantra ini terdiri dari kata Om bhur bhuvah svah. Kata Om yang artinya Ya Tuhan. Kata Om sendiri huruf atau suku kata suci dalam agama Hindu dan  salah satu suku kata yang tertinggi untuk melambangkan Sang Hyang Widi atau Tuhan umat Hndu Bali. Kata bhur berarti bumi. Kata bhur dapat pula bermakna alam, dunia yang merupakan ciptaan Sang Hyang Widi. Tetapi, dalam kitab Weda sendiri kata bhur tidak memiliki arti.  Kata bhuvah berarti langit, angkasa yang melambangkan kekuasaan Sang Hyang Widi tetapi, dalam kitab Weda kata bhuvah tidak memiliki arti. Kata svah memiliki arti surga.
Tat savitur varenyam artinya “sumber segala cahaya”. Larik ini terdiri dari tiga kata yaitu tat, savitur, dan varenyam yang masing-masing berarti  Tuhan Savita, dan sumber cahaya. Pada mantram ini pemuja memuja Tuhan seru sekalian alam, yang suci tak ternoda. Larik ketiga bhargo devasya dhimahi. Pada larik ini terdiri dari tiga kata. Pertama, bhargo yang berarti cemerlang atau  pencerahan dari Sang Hyang Widi. Kedua, devasya berarti Dewa, Tuhan, Dewi, Bathara, atau Bethari. Ketiga, dhimahi berarti memusatkan pikiran atau mari memusatkan pikiran. Secara keseluruhan arti pada larik ketiga yaitu mari memusatkan pikiran pada kecemerlangan dan kemuliaan Sang Hyang Widi.
Dhiyo yo nah pracodayat memiliki arti secara keseluruhan yaitu “semoga ia berikan semangat pada pikiran kita”. Masing-masing kata pada larik keempat sendiri memiliki arti yaitu Dhiyo “pikiran”, yo “ia (Tuhan)”,  nah “Kita”, dan  pracodayat “semangat”. Jadi, secara keseluruhan mantra pertama dapat diartikan berikut ini.

Mantra Tri Sandhya
Artinya
Om bhur bhuvah svah

tat savitur varenyam

 bhargo devasya dhimahi

dhiyo yo nah pracodayat
Om (Tuhan)  adalah bhur bhuvah svah

Sumber segala cahaya  
 Kita memusatkan pikiran pada kecemerlangan dan kemuliaan Sanghyang Widhi,
Semoga Ia berikan semangat pikiran kita


Ø 2. Om Narayana evedwam sarvam
Yad bhutam yasca bhavyam
Niskalankah niranjanah nirvikalpo
Nirakhyatah suddho deva eko
Narayana nadvitiyo asti kascit.

Larik pertama terdiri dari beberapa bagian kata yaitu Om, Narayana,  evedwam, dan  sarvam. Kata Om yang artinya Ya Tuhan. Kata Om sendiri adalah kata suci dalam agama Hindu dan  salah satu kata yang tertinggi untuk melambangkan Sang Hyang Widi atau Tuhan umat Hndu Bali. Kata Narayana berarti Tuhan. Dalam agama Hindu, penyebutan nama Tuhan memang bervariasi dan berbeda-beda tetapi hanya satu inti Tuhan yang mereka tuju yaitu Sang Hyang Widi. Kata evedwam berarti hanya ini dan kata sarvam berarti semua. Arti secara keseluruhan adalah “Ya Hyang Widhi (Om Narayan), adalah semua ini”.
Larik kedua terdiri dari kata yad, bhutam,  yasca,  dan  bhavyam. Yad berarti yang. Bhutam  berarti yang telah ada,  yasca  berarti yang, dan kata  bhavyam berarti yang aka ada. Yad bisa juga berarti yang memiliki alam semesta. Pemilik alam semesta menurut kepercayaan masyarakat Hindu Bali yaitu Sang Hyang Widi. Kata Yasca juga memiliki arti alam dan  kembali nantinya. Jadi, arti dari larik kedua ini adalah “apa yang telah ada dan apa yang akan ada di alam semesta ini”.
Niskalankah niranjanah nirvikalpo terdiri dari dua bagian kata yaitu niskalankah, niranjanah dan nirvikalpo yang masing-masing memiliki arti bebas dari noda, bebas dari kotoran dan perubahan. Maksud dari ketiga kata tersebut adalah manusia bebas dari noda dan kotoran yang berupa dosa kecil dan dosa besar yang sering dilakukan manusia dan terjadi sebuah perubahan dari semula tidak baik (kotor) menjadi baik (bersih). Arti dari Niskalankah niranjanah nirvikalpo adalah “bebas dari noda, bebas dari kotoran, bebas dari perubahan tak dapat digambarkan”.
Nirakhyatah suddho deva eko adalah larik selanjutnya. Kata pada larik ini terdapat beberapa kata yaitu Nirakhyatah yang berarti digambarkan. Suddho yang berarti suci,  deva  berarti Dewa, Dewi, Bathara, atau Betari, dan eko yang berarti satu.jadi, larik keempat ini berbunyi “sucilah dewa Narayana”.
Narayana na advitiyah asti kascit terdiri dari empat bagian kata. Pertama, narayana berarti Tuhan, Dewa, atau Sang Hyang Widi. Kata Narayana merupakan sebutan lain bagi Tuhan umat Hindu selain kata Om, Bhur, Siwa, Gayatri, dan lain sebagainya  Kedua, na dvitiyah artinya na “tidak” dan dvitiyah “kedua”. Ketiga, asti yang artinya ada. Keempat, kascit yang bermakna yang lain. Narayana na advitiyah asti kascit berarti “Ia (Narayan) hanya satu tidak ada yang kedua”. Berdasarkan uraian setiap dapat di atas dapat diartikan.

Mantra Tri Sandhya
Artinya
Om Narayana evedwam sarvam

Yad bhutam yasca bhavyam


Niskalankah niranjanah nirvikalpo


Nirakhyatah suddho deva eko

Narayana nadvitiyo asti kascit.

apa yang telah ada dan apa yang akan ada di alam semesta ini
bebas dari noda, bebas dari kotoran, bebas dari perubahan tak dapat digambarkan,
sucilah dewa Narayana,
Ia (Narayan) hanya satu tidak ada yang kedua

Ø 3. Om tvam siwah tvam mahadevah
Iswarah paramesvarah
Brahma visnusca rudrasca
Purusah parikirtitah

Om tvam siwah tvam mahadevah masing-masing memiliki arti sebagai berikut. Om yang artinya Ya Tuhan. Kata Om sendiri huruf atau suku kata suci dalam agama Hindu dan  salah satu suku kata yang tertinggi untuk melambangkan Sang Hyang Widi atau Tuhan umat Hndu Bali.  Tvam  berarti engkau (Tuhan). Siwah berarti Siwa (Dewa Siwa yang maha pengasih dan penyayang). Tvam mahadevah berarti maha dewa, Dewa yang agung. Arti secara keseluruhan pada larik pertama ini adalah Om (Ya Tuhan) Engkau dipanggil Siwa yang maha pengasih dan penyayang, Mahadewa.
Iswarah paramesvarah masing-masing berarti Iswara “yang kuasa” dan paramesvarah “penguasa yang tertinggi”. Penggunaan kata Iswarah paramesvarah sendiri masih mengacu pada pemujaan dan kemuliaan Dewa Siwa pada larik pertama. Secara keseluruhan larik ini berarti “(Engkau, Tuhan) yang kuasa dan penguasa yang tertinggi”.
Brahma visnus ca rudrasca, larik ini terdiri dari empat bagian kata. Kata Brahma berarti brahma, yang mencipta. Kata visnus bermakna visnu/wisnu, yang bekerja. Kata ca berarti dan. Kata rudrasca berarti rudra,(nama lain penjelmaan dewa). Jadi, larik ini berarti Brahma yang mencipta, Wisnu yang bekerja, dan Rudra.
Purusah parikirtitah , purusah berarti jiwa alam semesta dan parikirtitah berarti dipanggil. Jadi arti keseluruhan adalah “dipanggil juga sebagai  purusa, jiwa alam semesta”. Arti keseluruhan bagian ketiga mantra Tri Sandhya sebagai berikut.

Mantra Tri Sandhya
Artinya
Om tvam siwah tvam mahadevah

Iswarah paramesvarah

Brahma visnusca rudrasca

Purusah parikirtitah
Om (Ya Tuhan) Engkau dipanggil Siwa yang maha pengasih dan penyayang, Mahadewa.
“(Engkau, Tuhan) yang kuasa dan penguasa yang tertinggi
Brahma yang mencipta, Wisnu yang bekerja, dan Rudra.
dipanggil juga sebagai  purusa, jiwa alam semesta

Ø 4. Om papo aham papakarmaham
Papatma papasambhavah
Trahi mam pundarikaksah
Sabahyabhyantarah sucih

Om papo'ham papakarmaham teridri dari kata Om yang berarti Ya Tuhan. Kata Om sendiri huruf atau suku kata suci dalam agama Hindu dan  salah satu suku kata yang tertinggi untuk melambangkan Sang Hyang Widi atau Tuhan umat Hndu Bali. Kata papo berarti papa, tak berdaya, lemah, miskin. Kata aham berarti hamba. Kata papakarmaham berarti perbuatan papa, perbuatan nista. Makna dari larik pertama ini adalah Oh Hyang Widhi Wasa, hamba ini papa, lemah.
Papatma papasambhavah terdiri dari kata papatma yang berarti jiwa yang papa, jiwa yang lemah. Kata papasambhavah berarti kelahiran yang papa. Kedua kata tersebut dapat diartikan sebagai jiwa hamba papa dan kelahiran hambapun papa.
Trahi mam pundarikaksah terdiri dari tiga bagian kata. Kata pertama, trahi yang berarti hendaknya Engkau.  Engkau disini mengacu pada Tuhan  Sang Hyang Widi, Tuhan segala Tuhan. Kata kedua, mam berarti  lindungi hamba. Kata ketiga, pundarikaksah berarti yang bermata.  Secara keseluruhan larik ini bermakna “hendaklah Engkau  melindungi hamba yang papa ini, Sang Hyang Widi”.
  Sabahyabhyantarah sucih berarti luar dan dalam, lahir dan batin lagi suci. Jadi, kelengkapan makna pada larik yang terakhir ini adalah “sucikanlah jiwa dan raga hamba lahir dan batin”. Berikut ini makna secara keseluruhan pada bagian keempat dari mantra Tri Sandhya.

Mantra Tri Sandhya
Artinya
Om papo aham papakarmaham

Papatma papasambhavah

Trahi mam pundarikaksah

Sabahyabhyantarah sucih
Oh Hyang Widhi Wasa, hamba ini papa, lemah.
jiwa hamba papa dan kelahiran hambapun papa
hendaklah Engkau  melindungi hamba yang papa ini, Sang Hyang Widi
sucikanlah jiwa dan raga hamba lahir dan batin


Ø 5. Om ksamasva mam mahadeva
Sarvaprani hitankara
Mam moca sarvapapebhyah
Palayasva sada siva

Om ksamasva mam mahadeva, terdiri dari kata Om, ksamasva, mam, dan mahadeva. Kata Om berarti sendiri huruf atau suku kata suci dalam agama Hindu dan  salah satu suku kata yang tertinggi untuk melambangkan Sang Hyang Widi atau Tuhan umat Hndu Bali. Kata ksamasya berarti hendaknya Engkau ampuni. Kata mam berarti lindungi hamba. Makna kata lindungilah hamba bermaksud hamba Tuhan (dalam hal ini umat Hindu) berharap selalu dilindungi dari semua perbuatan tercela, dosa dan papa kepada Sang Hyang Widi. Berharap memdapat perlindungan dan keselamatan. Kata mahadeva berarti  mahadewa, Tuhan. Kata-kata ini akan dirangkai menjadi satu kesatuan yang bermakna yaitu Om ksamasva mam mahadeva, yang berarti “oh Tuhan  ampunilah hamba, Sanghyang Widhi”.
Sarvaprani hitankara terdiri dari kata sarvaprani  yang berarti yang memberikan kebahagiaan. Kata hitankara berarti semua mahluk. Jadi Sarvaprani hitankara berarti yang memberikan kebahagian kepada semua mahluk.
Mam moca sarva papebhyah. Kata mam berarti lindungilah hamba. Makna kata lindungilah hamba bermaksud hamba Tuhan (dalam hal ini umat Hindu) berharap selalu dilindungi dari semua perbuatan tercela, dosa dan papa kepada Sang Hyang Widi. Berharap memdapat perlindungan dan keselamatan. Kata moca berarti hendaknya Engkau bebaskan. Kata  sarvapapebhyah berarti semua dosa. Mam moca sarva papebhyah berarti bebaskanlah hamba dari segala dosa.
Palayasva sada siva terdiri dari kata palayasva berarti hendaknya Engkau lindungi. Kata  sada siva berarti Siwa, Tuhan yang kekal. Palayasva sada siva bermakna lindungilah oh Sang Hyang Widhi (Siwa). Secara keseluruhan mantra kelima Tri Sandhya ini bermakna:

Mantra Tri Sandhya
Artinya
Om ksamasva mam mahadeva

Sarvaprani hitankara

Mam moca sarvapapebhyah

Palayasva sada siva
oh Tuhan  ampunilah hamba, Sanghyang Widhi.

yang memberikan kebahagian kepada semua mahluk.
bebaskanlah hamba dari segala dosa
lindungilah oh Sang Hyang Widhi (Siwa)

Ø 6. Om ksantavyah kayiko dosah
Ksantavyah. vaciko mama
Ksantavah manasah dosah
Tat pramadat ksamasva mam
         Om santih, santih, santih om.

Om ksantavyah kayiko dosah terdiri dari kata om berarti ya Tuhan. Kata ksantavyah berarti hendaknya supaya diampuni. Kata  kayiko berarti anggota badan, tubuh. Kata dosah berarti dosa. Jadi, Om ksantavyah kayiko dosah berarti Ya Tuhan, ampunilah dosa anggota badan hamba. Ksantavyo. vaciko mama, kata ksantavyah berarti hendaknya supaya diampuni. Kata vaciko berarti perkataan, dan kata mama berarti hamba. Ksantavyo. vaciko mama berarti ampunilah dosa perkataan hamba. Ksantavah manaso dosah, kata ksantavyah berarti hendaknya supaya diampuni. Kata manasah  yang artinya pikiran, dan kata dosah yang bermakna dosa. Arti dari ksantavah manaso dosah berarti ampunilah dosa pikiran hamba.
Tat pramadat ksamasva mam, terdiri dari kata tat yang berarti itu. Kata  pramada berarti kelalaian. Kata ksamasva berarti hendaknya diampuni, dan kata mam berarti hamba. Kalimat mantra tat pramadat ksamasva mam mempunyai arti ampunilah hamba dari kelalaian hamba. Om santih, santih, santih om berarti semoga damai, damai, damai ya Tuhan.
Berikut ini arti secara keseluruhan mantra keenam Tri Sandhya ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Mantra Tri Sandhya
Artinya
Om ksantavyah kayiko dosah

Ksantavyah. vaciko mama

Ksantavah manasah dosah

Tat pramadat ksamasva mam

Om santih, santih, santih om

ampunilah dosa perkataan hamba

ampunilah dosa pikiran hamba
ampunilah hamba dari kelalaian hamba
semoga damai, damai, damai ya Tuhan

2) Pembacaan Hermeneutik
Sesuai dengan fungsinya, mantra Tri Sandhya sesungguhnya mengimplikasikan keinginan seorang hamba untuk memperoleh pengampunan atas semua dose-dosa yang telah diperbuat. Keiginan itu diwujudkan dalam bentuk sebuah permohonan kepada Tuhan Sang Hyang Widi melalui perantara dewa dan dewi. Perantara Tuhan dalam Mantra ini disebutkannya nama dewa Siwa, Brahma, Rudra, Mahadewa, Wisnu, Narayana,  bhur bhuvah svah dan Purusa. Kita akan melihat lebih dekat makna mantraTri Sandhya melalui pembacaan hermeneutik.
Ø 1. Om bhur bhuvah svah
    tat savitur varenyam
    bhargo devasya dhimahi
    dhiyo yo nah pracodayat
Arti dari bagian pertama mantra Tri Sandhya ini yaitu “Om (Tuhan) adalah bhur bhuvah svah. Kita memusatkan pikiran pada kecemerlangan dan kemuliaan Sanghyang Widhi, Semoga Ia berikan semangat pikiran kita”. Mantra pada bagian ini mengimplikasikan bahwa sesungguhnya seorang hamba senantiasa mengingat Tuhan Sang Hyang Widi. Tuhan semesta alam, seorang hamba hendaknya selalu mengingat Tuhanya dengan jalan memusatkan pikiran dan berdoa kepada Tuhan semoga ia diberikan semangat oleh Tuhan Sang Hyang Widi. Diberikannya semangat pikiran oleh Tuhan kepada hambanya diharapkan seorang hamba akan memperoleh kecermerlangan dan kemulian dihadapan Tuhan. Sasaran dalam bagian mantra ini adalah kejernihan dan semangat yang diberikan oleh Tuhan Sang Hyang Widi kepada hamba-Nya. Tujuan mantra pada bagian ini meminta agar Tuhan Sang Hyang Widi memberikan semangat pada pikiran manusia atau hamba-Nya dengan cara memusatkan pikiran pada kecemerlangan dan kemulaian Tuhan.

Ø 2. Om Narayana evedwam sarvam
Yad bhutam yasca bhavyam
Niskalankah niranjanah nirvikalpo
Nirakhyatah suddho deva eko
Narayana nadvitiyo asti kascit.
Arti dari mantra kedua yang merupakan bagian dari Tri Sandhya ini adalah  Om Narayana adalah semua ini, apa yang telah ada dan apa yang akan ada di alam semesta ini, bebas dari noda, bebas dari kotoran, bebas dari perubahan tak dapat digambarkan,  sucilah dewa Narayana,  Ia (Narayan) hanya satu tidak ada yang kedua. Bagian mantra ini menggambarkan bahwa Tuhan (Narayan) adalah Esa, tidak ada yang kedua.  Disebutkan pula bahwa Narayan adalah Tuhan yang maha suci, maha cemerlang, tiada berwujud dan gaib. Umat Hindu percaya bahwa Tuhan (Narayan) adalah sosok yang maha suci yang keberadaannya setara dengan Dewa-dewa yang lain.
3.      Om tvam siwah tvam mahadevah
Iswarah paramesvarah
Brahma visnu ca rudrasca
Purusah parikirtitah
Arti bagaian ketiga mantra Tri Sandhya adalah Om (Ya Tuhan) Engkau dipanggil Siwa yang maha pengasih dan penyayang, Mahadewa., (Engkau, Tuhan) yang kuasa dan penguasa yang tertinggi, Brahma yang mencipta, Wisnu yang bekerja, dan Rudra. Dipanggil juga sebagai  purusa, jiwa alam semesta. Umat Hindu Bali menyebut nama Tuhan mereka dalam berbagai nama sesuai dengan perwujudan Tuhan mereka. Ada yang disebut dengan Siwa, Wisnu, Brahma, Narayan, dan masih banyak lagi.dalam kitab Weda, Tuhan dalam agama Hindu adalah Sang Hyang Widi, ia tunggal. Tetapi banyak nama Tuhan yang digunakan untuk menunjukk pada satu Tuhan yaitu Sang Hyang Widi. Penamaan Tuhan yang cukup banyak ini dikarenakan Tuhan dalam perwujudan yang lain. Sang Hyang Widi dalam wujud Siwa maka ia adalah Tuhan Siwa (Dewa Siwa).

Ø 4. Om papo aham papakarmaham
Papatma papasambhavah
Trahi mam pundarikaksah
Sabahyabhyantarah sucih

Arti dari mantra di atas adalah Oh Hyang Widhi Wasa, hamba ini papa, lemah, jiwa hamba papa dan kelahiran hambapun papa, hendaklah Engkau  melindungi hamba yang papa ini, Sang Hyang Widi, sucikanlah jiwa dan raga hamba lahir dan batin. Pada bagian ini terlihat adanya pengakuan diri sang hamba Tuhan terhadap dirinya. Begitu lemahnya ia di hadapan Tuhan. Pemuja mengatakan dirinya serba hina, serba kurang, dan  serba lemah. Hina kerjanya, hina diri pribadinya, hina lahirnya. Karena itu ia mohon kepada Tuhan untuk dilindungi dan dibersihkan dari segala noda. Tuhanlah pelindung tertinggi dan Tuhanlah melimpahkan kesucian untuknya yang setia mengamalkan  ajaran-Nya.

Ø 5. Om ksamasva mam mahadeva
Sarvaprani hitankara
Mam moca sarvapapebhyah
Palayasva sada siva

Makna dari mantra ini adalah oh Tuhan  ampunilah hamba, Sanghyang Widhi. yang memberikan kebahagian kepada semua mahluk. bebaskanlah hamba dari segala dosa lindungilah oh Sang Hyang Widhi (Siwa)Pemuja mohon ampun kepada Tuhan, penyelamat semua makhluk. Ia mohon dibebaskan dari semua papa, semua kehinaan dan dosa. Ia mohon untuk dijaga, karena beliaulah penjaga semua makhluk di manapun dan kapanpun juga. Tuhan adalah kuasa tertinggi atas segala yang ada ini.

Ø 6. Om ksantavyah kayiko dosah
Ksantavyah. vaciko mama
Ksantavah manasah dosah
Tat pramadat ksamasva mam
         Om santih, santih, santih om.

Makna mantra ini adalah Ya Tuhan, ampunilah dosa anggota badan hamba. ampunilah dosa perkataan hamba, ampunilah dosa pikiran hamba, ampunilah hamba dari kelalaian hamba,  semoga damai, damai, damai ya Tuhan.  Apa saja dosa anggota badan, apa saja dosa kata-kata dan apa saja dosa pikiran, pemuja memohon kepada Tuhan untuk diampuni. Manusia tidak dapat bebas dari dosa karena ia diselubungi oleh khilaf dan lalai. Bila seseorang dapat membersihkan diri dengan amal kebajikan maka kabut kekhilafan yang menyelubungi sang Pribadi akan menipis dan akan memancarkan cahaya kesucian dari Sang Pribadi yang mengantar seseorang ke alam kesadaran.

4.2 PEMBAHASAAN
Pembacaan secara heuristik dan hermeneutik yang dilakukan terhadap mantra Tri Sandhya dapat membantu menemukan pemahaman makna mantra sembahyang umat Hindu ini dengan utuh. Pada pembacaan heuristik diperoleh arti dari setiap kata yang ada pada mantra tersebut. Pembacaan heuristik yang dilakukan dengan menerjemahkan setiap kata yang terdapat di dalam mantra Tri Sandhya. Bahasa yang digunakan dalam mantra ini adalah bahasa Sansekerta, jadi diperlukan ketelitian penuh dalam menerjemahkannya.
Pada pembacaan hermeneutik diperoleh makna yang padu tentang isi, sasaran, tujuan setiap bagian mantra yang diucapkan. Isi mantra Tri Sandhya adalah permohonan ampunan bagi pemeluk agama, perlindungan, dan bentuk pengakuan diri pemeluk sebagai mahluk yang lemah. Tujuan dari mantra ini sendiri adalah permohonan ampun diucapkan dan diminta secara lahir batin agar Tuhan mengampuni semua dosa yang telah dilakukan dan kembali suci lahir dan batin.

BAB V PENUTUP
5.1 SIMPULAN
Sebenarnya banyak mantra sembahyang yang digunakan oleh umat Hindu Bali dalam memuja Sang Hyang Widi, tetapi mantra Tri Sandhya adalah mantra yang senantiasa digunakan dalam peribadatan umat Hindu. Mantra Tri Sandhya ini digunakan dalam persembahyangan sebanyak tiga kali dalam sehari dan ia merupakan induk dari segala mantra yang ada.
Mantra Tri Sandhya ini adalah mantra yang digunakan umat Hindu Bali untuk meminta pengampunan, perlindungan kepada Tuhan sebagai bentuk pengakuan bahwa mereka adalah mahluh Tuhan yang lemah. Tujuan pembacaan mantra ini adalah agar permohonan ampunan yang dikehendaki dapat dikabulkan oleh Tuhan dan dapat kembali suci lahir dan batin.
















DAFTAR PUSTAKA

Aliana, Z.A. 1992. Sastra Lisan Bahasa Melayu Belitung. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Aliana, Z.A. 2000. Struktur Sastra Lisan Semende. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Arikunto, Suharsimi. 1989. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Bina Aksara

Djamaris, Edwar. 1990. Menggali Khazanah Sastra Melayu Klasik. Jakarta: Balai Pustaka.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Esten, Mursal. 1988. Sastra Jalur Kedua. Padang: Angkasa Raya.

Indrastuti, Kussuji, Novi Siti. 2007. “Semiotika: Michael Riffaterre dan Roland Barthes”. Makalah. Yogyakarta: Belum diterbitkan.

Koentjaraningrat. 1981. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.


Putrisari. 2009. “Pengertian Mantra”.http://putrisari.blog.com/2009/04/06/pengetian-mantra/. Diakses 24 Oktober 2011.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press.

Rismawati. 1996. “Analisis Struktur dan Isi Mantra Kanagarian Manggopo”. Skripsi. Palembang: FKIP Universitas Sriwijaya.

Santosa, Puji. 2004. “Tuhan, Kita Begitu Dekat: Semiotika Riffaterre”. T. Christomy dan Untung Yuwono (Penyunting). Semiotika Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Indonesia.


Siswantyoro. 2010. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Selden, Raman. 1993. Panduan Pembaca Teori Sastra.  Terjemahan Rachmat Djoko Pradopo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Teeuw, A. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar